Chapter 01 – Perpisahan yang Tak Terelakkan
Hari itu, langit di Jakarta tampak cerah, namun bagi Raka, rasanya semua itu hanya bayangan dari perasaannya yang gelisah. Raka duduk di bangku sekolah yang mulai sepi. Semua teman-temannya sudah pulang, hanya dia yang masih terdiam, memandang kosong ke luar jendela. Suara riuh kendaraan yang melintas di jalan raya itu terasa sangat jauh, seolah tidak berhubungan dengan apa yang sedang dirasakannya saat itu. Sesekali, angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, tapi dia tidak merasakannya. Pikiran Raka penuh dengan gambaran tentang apa yang akan terjadi ke depannya, kepergiannya ke Jepang, jauh dari tanah kelahirannya, dari teman-temannya, dari semua yang ia kenal selama hidupnya.
Sejak beberapa minggu lalu, Raka sudah diberitahu oleh ibunya, Ayu, bahwa mereka akan pindah ke Jepang. Ayu sudah menikah dengan Kenji, seorang pria asal Jepang yang kaya raya dan memiliki perusahaan besar. Raka tahu bahwa ini adalah keputusan yang sulit bagi ibunya, tapi mereka harus menjalani kehidupan yang baru di sana. Raka tidak pernah membayangkan akan meninggalkan Indonesia, tempat yang ia cintai, untuk pergi ke negeri yang sangat berbeda, tempat yang penuh dengan budaya yang asing baginya.
Hari ini adalah hari terakhirnya di sekolah, dan ia merasa berat hati untuk mengucapkan selamat tinggal. Sebagian besar teman-temannya sudah tahu, tapi tetap saja, rasanya sangat sulit. Saat bel bell berbunyi, menandakan akhir jam pelajaran, teman-temannya mulai mengerumuni meja Raka. Mereka semua terlihat bersedih, namun mereka mencoba menyembunyikan perasaan itu di balik senyuman.
"Raka, aku nggak percaya kamu bakal pergi," ujar Andi, salah satu teman Raka yang sudah lama dekat dengannya. Andi adalah teman yang selalu ada untuknya di setiap kesempatan. "Kamu beneran akan ke Jepang?" tanya Andi, matanya tampak berkaca-kaca.
Raka hanya mengangguk pelan, berusaha menahan air mata yang sudah hampir menetes. "Iya, Andi. Aku harus pergi. Ibuku sudah memutuskan, dan aku nggak bisa menolaknya," jawab Raka dengan suara yang nyaris tak terdengar.
"Jangan lupa ya, jaga dirimu di sana. Semoga kamu bisa cepat beradaptasi di Jepang," kata Clara, teman Raka yang lainnya, dengan penuh perhatian. Clara selalu menjadi sosok yang ceria, dan meskipun kini terlihat sedikit sedih, ia tetap berusaha tersenyum.
"Terima kasih, Clara. Aku akan kangen kalian," jawab Raka, mencoba tersenyum meski hatinya terasa berat.
Sambil mengemas barang-barangnya, Raka merasa seolah waktunya di Indonesia tiba-tiba berakhir begitu saja. Tidak ada peringatan, tidak ada tanda-tanda yang jelas. Semuanya terasa begitu cepat, dan ia harus meninggalkan segalanya: sekolah, teman-temannya, dan semua kenangan yang telah ia bangun selama bertahun-tahun di sini.
Saat ia keluar dari ruang kelas, Raka melihat ibunya berdiri di depan pintu sekolah. Ayu tersenyum, meski senyum itu tampak dipaksakan. Raka tahu ibunya merasa berat hati, namun ia tidak bisa berbuat banyak. Keputusan ini sudah diambil, dan mereka harus menjalani kenyataan.
Raka berjalan perlahan menuju ibunya. "Ibu, aku sudah pamitan sama teman-teman," kata Raka dengan suara lembut. Ayu memeluknya erat, merasa perasaan berat itu semakin menyesakkan dadanya.
"Aku tahu ini sulit buat kamu, Raka," ujar Ayu dengan suara yang bergetar. "Tapi ini untuk masa depan kita. Kamu harus lebih kuat, dan aku yakin kamu bisa menghadapi semuanya di sana."
"Kenapa harus pergi ke Jepang, Bu?" tanya Raka pelan. "Kenapa nggak di sini saja? Aku nggak siap meninggalkan semuanya."
Ayu menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. "Kadang-kadang, keputusan besar harus diambil untuk masa depan yang lebih baik, Raka. Kamu akan lebih banyak kesempatan di sana. Kamu bisa jadi lebih baik, bisa mendapatkan pendidikan yang lebih bagus," jawab Ayu dengan suara penuh harapan, meskipun di dalam hati ia pun merasa cemas akan masa depan mereka di Jepang.
Mereka berjalan keluar dari sekolah menuju mobil yang sudah menunggu. Raka masih merasa canggung, perasaan tak menentu melingkupi dirinya. Sesampainya di rumah, suasana terasa sunyi. Rumah yang dulunya penuh dengan tawa dan kehangatan, kini sepi karena tidak ada lagi teman-teman yang datang untuk bermain. Semua yang ada hanyalah kenangan, dan kenangan itu terasa sangat berat di hati Raka.
Di ruang tamu, Ayu menyajikan makan malam sederhana, nasi goreng yang selalu menjadi favorit Raka. Meskipun Ayu tidak bisa memasak dengan sangat baik, namun makanan ini selalu membuat Raka merasa nyaman. Mereka duduk bersama di meja makan, tetapi perasaan hampa tetap saja menghantui Raka. Setiap suapan yang ia ambil terasa sangat hambar.
"Ibu, apa aku harus pergi?" tanya Raka setelah beberapa saat diam. "Aku nggak yakin, Bu. Aku takut kalau aku nggak bisa beradaptasi di sana."
Ayu menatap anaknya dengan tatapan penuh kasih sayang. "Raka, kamu harus berani menghadapi perubahan. Ini kesempatan yang langka, dan kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin," jawab Ayu dengan suara yang lembut namun penuh keyakinan.
Raka hanya bisa menunduk, menggigit bibirnya yang mulai terasa kering. Ia merasa terjebak dalam keputusan yang bukan ia buat, dan meskipun ia tahu ibunya hanya ingin yang terbaik untuk mereka, perasaan cemas itu tetap menghantuinya. Kepergiannya ke Jepang bukan hanya tentang beradaptasi dengan budaya baru, tetapi juga tentang berpisah dengan segala yang sudah ia kenal dan cintai selama ini.
Pukul 22:00 malam, suasana di rumah terasa hening. Raka duduk di kamarnya, melihat ke luar jendela dengan tatapan kosong. Semua kenangan yang ia miliki tentang Indonesia terus berputar di pikirannya. Kenangan tentang sekolah, teman-teman, dan hidup yang sederhana yang selalu ia anggap biasa. Tapi sekarang, semua itu akan menjadi masa lalu yang harus ia tinggalkan.
Di meja belajarnya, ada sebuah tas koper besar yang sudah terpakai setengahnya. Ayu sudah menyiapkan segala perlengkapan untuk Raka, tetapi Raka masih merasa ragu. Ia tahu bahwa setelah malam ini, tidak ada lagi yang akan sama. Ia akan meninggalkan rumahnya, meninggalkan Indonesia, dan menjalani hidup yang baru di Jepang, sebuah tempat yang tidak ia ketahui banyak hal tentangnya.
Di balik pintu, terdengar langkah kaki Ayu yang mendekat. "Raka, sudah waktunya tidur. Besok pagi kita harus siap-siap," kata Ayu sambil membuka pintu kamar. "Jangan terlalu dipikirkan, ya. Semua akan baik-baik saja."
Raka mengangguk pelan, meskipun hatinya masih berat. "Iya, Bu. Aku nggak tahu harus bagaimana."
Ayu mendekat dan duduk di samping Raka, menyentuh bahunya dengan lembut. "Kamu tidak sendiri, Raka. Aku akan selalu ada untuk kamu, meski kita berada di tempat yang jauh," ujar Ayu, mencoba memberi rasa nyaman kepada anaknya.
Namun, meskipun kata-kata itu terdengar menenangkan, Raka merasa bahwa dirinya akan merindukan semua yang ada di Indonesia. Ia tahu hidupnya akan berubah, tetapi apakah ia siap? Itu adalah pertanyaan yang belum bisa ia jawab, bahkan setelah perasaan cemas dan ragu merasuki setiap sudut hatinya.
Ayu pun beranjak, meninggalkan Raka dengan pikirannya yang penuh pertanyaan. Raka menatap ke luar jendela, ke arah langit yang kini mulai gelap, merasakan angin yang semilir masuk melalui celah jendela. Angin itu membawa harum dari kota yang sudah ia tinggalkan. Meskipun ia tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya sendiri, satu hal yang pasti: hidupnya di Indonesia sudah berakhir, dan kehidupan baru yang penuh ketidakpastian akan segera dimulai.
Chapter 01 – Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar